Prinsip Setan, Bersiul di Atas Jeritan Rakyat

Share on facebook
Facebook
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on twitter
Twitter

BERITAWAJO.ID – Indonesia tercatat sebagai peringkat keempat jumlah penduduk terbanyak dunia. Bahkan menempati peringkat pertama jumlah terbesar umat Islam di dunia. Kondisi demikian, menjadi peluang emas bagi mereka (pelaku bisnis dan politikus) melakukan “jualan agama” untuk meraih kesenangan di atas prinsip menghalalkan segala cara.

Secara filosofi etika, setiap orang tak ingin diperlakukan secara kurang manusiawi. Tapi ada saja sebagian berhati iblis dengan ‘prinsip setan’ meraih kesenangan diri bersama kelompoknya, tak perduli dengan penderitaan orang lain, terpenting tujuan tercapai.

Berinteraksi atas dasar prinsip saling menguntungkan sangat pas bagi manusia untuk memanusiakan manusia. Sedangkan prinsip berbahagia di atas penderitaan orang lain merupakan prinsip setan.

Menurut ajaran Islam, bentuk makhluk bernama setan itu beragam, bisa berbentuk jin, binatang dan manusia seperti kita kita ini. Ketika setan sudah berbentuk manusia, maka saat itu dapat merasuki semua lini kehidupan. Sehingga tampak kehidupan sosial manusia menjadi tidak lagi manusiawi.

Fakta yang suka membangun suatu hubungan ekonomi dan politik di atas prinsip kurang manusiawi atau tujuan menghalalkan segala cara sangat mudah ditemukan dalam kehidupan sosial, khusunya di dunia binis dan politik praktis.

Semisal, bisnis TRAVEL BODONG berkedok haji dan umrah, telah banyak orang Islam dibuat menderita, tertipu. Demikian juga pada tataran politik praktis, juga tak ketinggalan petualang politik melancarkan propanganda menggunakan agama (jualan agama). Sehingga tak sedikit masyarakat ‘bodoh’ terpedaya dan kurang menyadari kalau sesungguhnya mereka (petualang politik) menggunakan cara-cara tak Islami.

Seorang cendekiawan muslim, Ibnu Rusyd pernah berhujjah bahwa “Jika ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah sesuatu yang bathil dengan agama.” Senada dengan hujjah Ibnu Rusyd, adalah seorang Maciavilli juga pernah berpesan bahwa “jadilah sekuat singa dan jadilah selicik rubah.”

Sengaja atau tidak, namanya manusia tentu tak luput dari kekhilafan atau kekeliruan. Sebab itu, selalu memiliki kemungkinan keliru ketika mengambil suatu kebijakan, meski setiap kebijakan pada dasarnya bertujuan baik.

Terkait situasi pandemi yang mengglobal ini. Manusia sebagai pengambil kebijakan, terkadang secara kurang dia sadari justru kebijakannya menimbulkan dampak buruk terhadap perekonomian rakyat jelata.

Kita tetap berprasangka baik bahwa dampak buruk yang ditimbulkan bukan usaha yang disengaja atau akibat penerapan “prinsip setan” untuk mengeruk KEUNTUNGAN yang bersifat pribadi. Kebijakannya memang menyebabkan perekonomian rakyat tersungkur, roda ekonomi mikro terseok-seok dan masyarakat kecil menjerit-jerit. Tapi kita pun tetap masih yakin jika akibat buruk kebijakan tersebut terjadi secara kurang dia sadari.

Lain soal jika pengambil kebijakan tidak mau mendengar lagi keluhan-keluhan rakyat. Tentu akan menimbulkan kesan kurang baik. Contoh, kebijakan yang mengharuskan warga memiliki surat keterangan kesehatan (rapid test) bila ingin memasuki suatu wilayah otonomi daerah. Mungkin tidak ada sama sekali niat untuk membuat rakyat menderita, namun kenyataan di lapangan, ternyata banyak warga merasa dibuat susah akibat kebijakan tersebut, memberatkan sekaligus merepotkan.

Rakyat jelata merasa sangat dirugikan, direpotkan dalam beraktivitas mencari nafkah hidup. Terutama pedagang kecil yang ingin membeli hasil perkebunan petani dari desa untuk dijual kembali ke daerah lain. Begitu juga tenaga kerja harian lintas daerah perbatasan sangat merasa tidak nyaman dengan kebijakan tersebut. Sehingga peputaran roda ekonomi mikro menjadi tersungkur.

Padahal pemerintah pusat (menteri kesehatan) sudah pernah mengeluarkan surat edaran larangan gunakan rapid test untuk deteksi corona, sebab akurasi rapid test terbukti kurang akurat dan tidak efektif mencegah penyebaran virus atau menurunkan jumlah kasus corona.

Maka sangat wajar bila warga bertanya-tanya. Mengapa ada pemda setempat terkesan membandel terhadap kebijakan pusat atau tetap “nogot” menerapkan kebijakan Surat Keterangan Covid? Mungkinkah agar ladang “bisnis” surat keterangan terus laris manis mengeruk isi katong warga, meski tak mau peduli dengan jeritan rakyat.

Itu hanya umpama atau sekadar pertanyaan berandai-andai saja. Karena beredar lagi isu, konon kabarnya, ada pemda setempat berniat untuk menerapkan kembali kebijakan Surat Keterangan COPID bagi warga yang ingin keluar-masuk di wilayah otonomi daerahnya.

Sebagai wujud nyata sistem pemerintahan demokrasi, seharusnya pejabat politik memperhatikan keluhan-keluhan warga. Jangan nanti menjelang pesta demokrasi, mereka baru pada sibuk mengumbar, menebar semboyan-semboyan surga.

Makassar ( Jum’at, 18/09/20).

Penulis : Muh. Yunus HM

Editor  : Edi Prekendes

Print Friendly, PDF & Email

Related Posts