BERITAWAJO.ID – Istilah buzzer dan influencer muncul dari teknik pemasaran sebab sangat diperlukan di dunia digital marketing pada era media sosial untuk brand. Seiring dengan perkembangan media sosial, kedua istilah tersebut menjalar ke bidang perpolitikan di tanah air. Sebagian kalangan lantas menilai keberadaan buzzer atau influencer merusak prinsip demokrasi karena dibayar untuk menyerang pribadi orang.
Setidaknya, penilaian seperti itu muncul ketika Pengamat Politik, Rocky Gerung menyinggung keberadaan “buzzerRp” dalam sebuah acara diskusi dengan juru bicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rachman, bertajuk “Jokowi dan Masa Depan Demokrasi” di KompasTV (11 Juni 2020) yang dipandu oleh pembawa acara, Rosiana Silalahi.
Menurut Rocky, “Fungsi pertama buzzer adalah mengulik-ulik pribadi orang.” Demikian dikatakan saat berdebat dengan Fadjroel pada segmen pembahasan isu buzzer di acara talkshow Rosi.
Jika benar pernyataan bahwa “buzzerRp” dipiara untuk mencari kesalahan orang-orang yang suka mengkritik kebijakan pemerintah—penilaian Rocky—-maka tentu saja dapat merusak prinsip demokrasi. Karena orang-orang yang mempunyai sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah tapi punya “problem privat” tentu mereka “kapok” bersikap kritis terhadap setiap kebijakan yang dianggap aneh. Karena takut terancam pribadi mereka dibongkar oleh buzzerRp yang bersembunyi di balik nama anonim.
Tetapi sepanjang pengetahuan Fadjroel, “tidak ada buserRp” seperti anggapan Rocky bahwa ada buzzerRp dipelihara di lingkungan Istana Presiden. Namun Rocky tetap menganggap keberadaan ‘BuzzerRP’ di lingkungan istana untuk menyerang pribadi orang. Fadjroel lantas meminta Rocky membuktikan atau menyebutkan saja nama sosok buzzer yang dimaksud itu. Rocky diminta melaporkan ke penegak hukum bila ada pihak merasa dirugikan, difitnah atau dihina.
Di era digital media sosial, semua orang bebas berbicara dan mengemukakan pendapat. Jadi, seandainya ada persoalan hukum, misalkan ada pihak merasa dirugikan, difitnah atau pencemaran nama baik, tentu akan berhadapan dengan penegak hukum karena negara berdasarkan hukum.
*******
Rupanya isu influencer (buzzer) kembali mencuat lagi menjadi sorotan publik setelah peneliti dari ICW, Egi Primayogha menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi menggelontorkan dana sebesar Rp 90, 45 miliar bagi mereka (influencer) untuk aktivitas digital.
Terlepas perbedaan frasa tentang istilah influencer dan buzzer yang disoal itu, namun sekilas hampir sama dan sepaket. Yaitu sama-sama berfungsi menyampaikan suatu informasi kepada audiens atau masyarakat luas. Sebab itu keberadaannya sangat diperlukan pada tekhnik marketing—-buzz marketing atau influencer marketing—untuk brand.
Karena roda perubahan terus bergulir mengikuti tuntutan perkembangan sesuai semangat generasi zamannya. Sehingga hampir semua lini kehidupan ikut terpengaruh. Secara terpaksa harus senapas dengan perubahan atau mengikuti arus perkembangan zaman, suka atau pun tidak suka. Menolak beriringan atau senapas dengan arus perubahan karena tetap mempertahankan kebiasaan lama, berarti bersiap menerima kosekuensi punah seperti kepunahan ‘dinosaurus’ karena akan tergilas oleh roda perubahan yang terus berputar.
Tak terkecuali di dunia perpolitikan dalam negeri, pun suka atau tidak suka, harus mengikuti perubahan sesuai tuntutan generasi zamannya. Demokrasi pasca perjuangan kemerdekaan, Orde Lama ke Orde Baru hingga kini zaman reformasi, kian memperlihatkan sosoknya semakin terbuka dan demokratis.
Pemerintah pada era orde baru, saat media digital belum ramai seperti saat sekarang ini, berbagai program-program pembangunan biasanya disosialisasikan melalui media mainstream seperti koran (cetak), media elektronik (radio dan televisi).
Tapi sekarang di era reformasi, kelirukah bila program-program pembangunan pemerintah akan disosialisasikan melalui media sosial menggunakan jasa-jasa para influencer atu buzzer?
Untuk mendapatkan jawaban pencerahan, simak tanggapan Denny Siregar. Silakan klik link berikut, monggo!
[Dibongkar ICW, Soal Dana BuzzerRp Heboh Lagi, DS: Mau Gimana Lagi? Berubah atau Mati] http://share.babe.news/al/MUeZwmpQvR
Menurutku, keberadaan influencer dan buzzer di era media sosial sangat diperlukan. Karena tanpa kehadiran mereka maka nasib demokrasi kita bagaikan emak-emak memasak sayur tanpa garam. Namun bila garam “berlebihan” sudah pasti juga akan merusak cita rasa sayur.
Makassar, 01 September 2020
Penulis : Muh. Yunus HM
Editor : Edi Prekendes