BERITAWAJO.ID – Salah satu hal yang menarik diperbincangkan dan tak pernah habis untuk didiskusikan adalah persoalan etika. Etika meliputi seluruh bidang kehidupan yang tak habis-habis untuk membahasnya. Mulai dari agama, budaya, individu, kelompok, politik dan lain sebagainya. Etika dan moral sering disandingkan meskipun ada perbedaan. Etika lebih luas cakupannya karena sudah menjadi suatu bidang keilmuan. Secara definisi umum etika biasa diartikan sebagai bidang ilmu yang mempelajari tentang baik buruknya perbuatan. Dalam perkembangannya etika sudah dibahas oleh orang-orang terdahulu atau para filsuf bidang etika. Sehingga terdapat beberapa aliran etika yang eksis pada mula perkembangannya diantaranya aliran hedonisme, utilitarianisme, Eudemonisme, deontologi. Dan dari paham itu melebar pemikiran-pemikiran baru tentang etika.
Pembahasan tentang etika adalah sebuah upaya manusia untuk mencari kebaikan dalam menjalani hidup. Setidak-tidaknya ada tiga pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang filsuf abad 20 G.E. Moree, apa yang harus aku lakukan? Apa yang bernilai? Apa arti kata baik?. Pertanyaan ini tidak akan dijawab di dalam tulisan ini. Namun sebagai penegasan bahwa di dalam tulisan ini mencoba untuk mengkonstruksikan etika dengan hasil penalaran bertolak kepada nilai-nilai kebudayaan lokal. Dengan konklusi dari nilai kebudayaan menghasilkan manusia yang ber-etika.
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki beranekaragam suku, budaya, golongan dan bahasa. Dari beraneka ragam itu melahirkan berbagai pemikiran-pemikiran, ide-ide yang disepakati, diyakini oleh sekelompok masyarakat yang terlembaga yang biasa disebut dengan adat. Dari kekayaan gagasan, pemikiran dan ide ini menjadi modal tersendiri bagi kita sebagai bangsa untuk mengkaji, melirik dan membahasnya. Dalam tulisan ini akan dibahas salah satu nilai kebudayaan yang berkembang , menjadi khas di Indonesia Timur, Sulawesi Selatan, yaitu nilai siri’(malu).
Menurut Prof. Dr. Mattulada inti dari kebudayaan bugis-makassar (Sulawesi Selatan) adalah siri’. Sementara menurut Prof. Dr. Baharuddin Lopa, S.H, siri’ yang ada di Sulawesi Selatan (Siri’ suku Bugis, Makassar, Mandar, Toraja) adalah sama. Keempat suku itu memegang asas hukum adat yang sama. Secara bahasa siri’ dapat diartikan malu dan harga diri. secara universal siri’ dimiliki oleh setiap umat manusia. Namun yang membedakan siri’ yang bersifat universal dengan siri’ yang ada di Sulawesi Selatan adalah telah menjadi sistem nilai sosial-kultural. Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Dr. Mattulada di dalam seminar di Universitas Hasanuddin 1977 merumuskan bahwa siri’ adalah suatu sistem nilai sosial-kultural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan kelompok masyarakat.
Dari definisi yang dirumuskan oleh Prof. Dr. Mattulada terdapat dua poin yaitu siri’ sebagai sistem sosial-kultural dan siri’ sebagai pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia baik sebagai individu maupun kelompok masyarakat. Sebagai suatu sistem nilai sosial-kultural itu mencermikan filosofi kehidupan orang Sulawesi Selatan dibangun berdasarkan nilai siri’. Kemudian siri’ sebagai pranata pertahanan harga diri dan martabat adalah sebagai etos masyarakat Sulawesi Selatan untuk mengembangkan/melindungi diri pribadi atau kelompok masyarakat.
Siri’ sebagai filosofi dan etos mampu melahirkan pribadi atau kelompok masyarakat yang ber-etika. Menurut Prof. Dr. Buya Hamka siri’ (malu) akan melahirkan sifat yang tawadhu. sehingga melahirkan perangai (watak) yang terpuji berupa sabar (orang yang mampu menahan amarah), iffah (orang yang dapat menahan syahwatnya), Syaja’ah (orang berani karena benar dan yakin mempertahankannya di mana saja), adil (Abu Hamid, 2009:23). Dengan adanya rasa malu ( masiri ) maka manusia tidak akan melakukan hal-hal yang asusila, amoral, melanggar aturan agama dan atau melanggar hukum. Sehingga orang tersebut dipandang sebagai orang yang ber-etika. Apabila siri’ sebagai filosofi dan etos dijadikan sebagai pegangan dalam setiap aktivitas kehidupan berpolitik, menuntut ilmu, bekerja, bermu’amalah. Maka akan melahirkan masyarakat yang ber-etika dan berkualitas.
Seorang politisi (pemimpin) yang mempunyai siri’ tidak akan berani melakukan tindak pidana korupsi karena akan malu kepada rakyatnya, seorang birokrasi yang mempunyai siri’ tidak akan melakukan hal yang bertentangan dengan tupoksi dan kewenangannya karena malu dengan sumpah jabatannya, seorang penuntut ilmu yang mempunyai siri’ tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk terus belajar karena malu dibilangi bodoh, seorang hamba yang mempunyai siri’ tidak akan melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama dan berusaha menjalani seluruh perintah agama karena malu kepada Tuhan-nya.
Kebudayaan berupa nilai ( siri’) yang dimiliki oleh penduduk Sulawesi Selatan mampu menjadi suatu bahan renungan dan pembelajaran buat kita. Adalah sebuah historis kebudayaan dan kekayaan gagasan, pikiran dan ide. Patut kita syukuri sebagai suatu bangsa untuk mengembangkan, mengsosialisasikan kembali nilai siri’ sebagai bahan sipakainge untuk menerapkannya dalam aktivitas kehidupan agar terciptanya suatu manusia atau masyarakat yang ber-karakter etis.
Penulis : Arung Samudra
Editor : Edi Prekendes