BERITAWAJO.ID – Pemerintahan pasca-reformasi telah berjalan 23 tahun lamanya, berbagai usaha dalam menepati perjanjian reformasi yang telah disepakati bersama. Salah satunya menghapus KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Usaha dalam mewujudkan perjanjian tersebut dengan membentuk lembaga independen yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). tetapi seiring berjalannya tugas KPK, KPK sangat berfokus pada kasus-kasus korupsi yang merajalela di tanah nusantara Indonesia.
Karena lebih berfokusnya KPK dalam hal korupsi, Nepotisme menjadi fenomena yang menjadi biasa di negara Indonesia. Pada kamus besar bahasa Indonesia, Nepotisme diartikan bahwa tindakan seseorang yang cenderung mengutamakan kerabat dekat dalam jabatan, pangkat dilingkungan pemerintahan. Hal itu bisa diartikan bahwa bukan hanya kerabat keluarga, KBBI mengartikan bahwa kerabat memiliki arti yang cukup luas seperti kerabat dalam perkawinan, kerabat kerja dan kerabat angkat.
Fenomena Nepotisme saat Orde Baru melekat pada Pemerintah yang berkuasa tetapi saat sekarang perilaku nepotisme bukan hanya dari pemerintahan tetapi menjalar sampai ke Masyarakat. Nepotisme juga sekarang dianggap bukan persoalan pangkat dan jabatan, tetapi menjalar ke banyak hal seperti Bantuan Sosial. Hal itu telah terjadi dan telah diketahui oleh Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Begitu juga pada setiap organisasi, Nepotisme akan selalu menjalar di bagian-bagian struktur kepengurusan. Fenomena lama yang masih bertahan yaitu di dalam organisasi politik di dalam kepengurusan pusat, Provinsi, maupun daerah yang membagi jabatan kepengurusan yang berperilaku Nepotisme. Selain itu Era sekarang nepotisme telah menjalar di organisasi agama, relawan, dan pendidikan. Cara yang dulu dalam menentukan penerus estafet dari sistem kaderisasi itu telah dihilangkan, dengan cara baru para penguasa memimpin berbagai organisasi yang jelas tidak mengikuti sistem kaderisasi.
Hal yang miris pada era milenial sekarang, para pimpinan Daerah seakan berlomba-lomba memiliki banyak jabatan diberbagai organisasi yang secara jelas mereka masih menjabat di pemerintahan. Hal itu tidaklah menjadi masalah dibeberapa organisasi tetapi ini persoalan komitmen akan fokus pemimpin itu pada pemerintahan yang sedang diembannya. Alangkah lucunya pemimpin itu sendiri yang melantik organisasi yang pemimpinnya adalah beliau juga.
Kaderisasi juga akan sia-sia dilaksanakan dengan anggaran puluhan juta jika penerus estafet bukanlah salah satu kader yang telah mengikuti pembelajaran dan kajian mendalam organisasi sehingga seakan-akan tidak ada kader lain yang bisa memegang tongkat kepemimpinan organisasinya.
Kini kami hanya berharap para generasi Milenial dapat mematahkan fenomena nepotisme yang menjalar di Indonesia. Peran aktivis 98 dalam memenuhi janji reformasi ada di tangan para generasi milenial sebab revolusi belum usai.
Penulis : As’ad
Editor : Edi Prekendes