BERITAWAJO.ID – Dalam berbagai literatur, disebutkan bahwa suku Bugis memiliki kekhasan budayadan peradaban tersendiri sehingga membedakan dengan berbagai budaya suku bangsa lain.Pada awalnya orang Bugis berdomisili di tanah Bugis dan Makassar, tetapi karena perkembangan membuat sebagian orang Bugismeninggalkan kampung halamannya yang dikenal dengan merantau.
Di daerah dan negara lain mereka berkreasi menciptakan dan mengembangkan kebudayaannya.
Pelras menyebutkan bahwa profesi masyarakat Bugis secara tradisional adalah bertani, Akan tetapikeadaan itu berubah pada abad-abad berikutnya, hal itu disebabkan oleh kenyataan sosial yang menunjukkan bahwa orang Bugis berkembang dalam membangun komunitas di luar daerah asalnya.
Dalam membangun komunitas,peran komunikasi masyarakat Bugispenting dalam menjembatani perbedaan untuk membangun komunitas di daerah perantauannya. Jika komunikasi yang tidak baik di miliki masyarakat Bugis maka sangat rentan terjadinya konflik yang disebabkan kesalahpahaman dalam memersepsistereotype baik dalam berbuat maupun dalam bertutur bahasa.
Karena komunikasi itulahsuku Bugis bisa sebagai salah satu diantara puluhan etnis di Indonesiayang memiliki populasi terbesar setelah Jawa dan Sunda dan tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara. Menurut Prof. DR.H. Hafied Cangara, M.Sc., bahwa akhir-akhir ini orang Bugis mulai menunjukkan jati dirinya sebagai salah satu etnis di Indonesia yang maju di bidang pemerintahan, ekonomi, dan pendidikan. Argumen tersebut sangat berdasar, terutama dalam bidang pemerintahan, sejumlah tokoh pernah tercatat sebagai tokoh Nasional seperti Jenderal MuhammadYusuf, Baharuddin Jusuf Habibie, Baharuddin Lopa, dan MuhamaadJusufKalla yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
Pada tingkat pusat beberapa di antaranya menjadi Menteri dan Direktur Jenderal, di bidang pemerintahan di tingkat Provinsi dan Daerah, orang Bugis tidak hanya berjaya sebagai tokoh pimpinan daerah di Sulawesi Selatan, tetapi juga di daerah-daerah yang didatanginya.
Suku Bugis memiliki suatu asas moralitas yang dijadikan sebagai pedoman dalam beraktivitas. Asas moralitas itu disebut ade’ (adat). Pada jurnal Rahim menjelaskan bahwa yangdisebut ade’ adalah bicara yang jujur, perilaku yang benar, tindakan yang sah, perbuatanyang patut, pabbatang yang tangguh, serta kebajikan yang meluas. Dengan kata lain, adatitu mengandung dan mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kecendekiaan, kepatutan, keteguhandanusaha serta siri’. Di bawah ini akan diuraikan satu demi satu asas moralitas orang Bugis.
Kejujuran dalam bahasa Bugis disebut lempu’. Secara harfiah, arti kata lempu’ adalah luruslawan daripada perkataan bengkok. Dalam kitab lontara, diceritakan pelbagai contoh kasus yang menunjukkan suatu sikap dan perbuatan jujur. Seperti, ketika Tociung, seorang cendekiawan Luwu, yang diminta nasihatnya oleh calon Raja Soppeng, La Manussa’ Toakkarangeng. Ia menyatakan ada empat perbuatan jujur, yaitu (1) memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya; (2) ia dipercaya tidak curang; ia diberi amanah dan bertanggungjawab; (3) tidak serakah yang bukan haknya; (4) ia tidak memandang suatu kebaikan, apabila hanya dirinya yang menikmati, yang dianggap kebaikan jika dinikmati secara bersama.
Asas moralitas yang kedua adalah kecendekiaan. Dalam bahasa Bugis Kecendekiaan disebut acca, atau nawa-nawa. Konsep moralitas ini terdapat nilai kejujuran dan juga terdapat nilai kebenaran, kepatutan, keikhlasan dan semangat penyiasatan atau penyelidikan. Tociung, seorang cendekiawan Luwu, menjelaskan bahwa cendekiawan(tokanawa-nawa) mencintai perbuatan dan perkataan jujur. Pada masa menghadapi kesusahan, ia memikirkannya kembali dan berhati-hati dalam setiap melaksanakan sesuatu. MatinroeriLariangbangngimenjelaskan juga bahwa kecendekiaan adalah orang yang ikhlas,yang senantiasa berpikir mencari solusi penyelesaian suatu masalah yang dihadapi. Demikian pula perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan.
Asas moralitas yang utama adalah siri’. Secara sosial-budaya salah satu dari sifat yang melekat pada suku bangsa Bugis adalah siri’. Banyak ahli yang telah mengkaji makna siri’. Dalam kamus bahasa Indonesia, kata siri’ diartikan bahwa siri’ adalah sistem nilai sosio-kultural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat. Konsep siri’ mempunyai dua kandungan nilai, yaitu nilai malu dan nilai harga diri. Perkataan malu dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dan sebagainya Begitu juga dalam kamus Poerwadarminta, malu berarti segan, menaruh hormat (agak takut).
Perkataan malu dalam perspektif budaya mempunyai makna yang sangat luas, artinya malu dimaknai sesuai dengan realiti sosial orang Bugis. Nilai malu dalam kaitan sistem budaya siri’ tidak sekedar mencakupi ungkapan perasaan malu bagi seseorang guna melakukan perbuatan yang dilarang oleh kaidah atau hukum adat, tetapi perasaan malu juga berfungsi sebagai upaya pengekangan diri terhadap perbuatan yang dipandang bertentangan dengan wujud totalitas sistem budaya (culturalsystem) orang Bugis.
Kandungan nilai dalam konsep siri’ yang kedua adalah nilai harga diri atau martabat. Nilai harga diri atau martabat merupakan pranata pertahanan psikis terhadap perbuatan tercela serta yang dilarang oleh kaidah adat. Nilai harga diri atau martabat menjadikan individu tidak mau melakukan perbuatan yang dipandang tercela serta dilarang oleh kaidah hukum, karena hal yang dimaksud berkaitan dengan harkat kehormatan dirinya sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat.Jika seandainya seseorang melakukan perbuatan tercela yang dilarang oleh kaidah adat, maka individu dimaksud dipandang tidak memiliki harga diri (martabat).
Seseorang tidak memiliki harga diri dipandang pula sebagai orang yang kehilangan rasa malu. Ketiadaan nilai malu serta nilai harga diri atau martabat dalam diri seseorang menjadikan individu yang bersangkutan sebagai orang yang tidak memiliki harkatsiri’. Dalam perspektifbudaya Bugis, seseorang yang tidak memiliki harkat siri’, tidak lagi dipandang sebagai manusia, tetapi binatang berwujud manusia. Seperti ungkapan bahasa Bugis, Naiyataude’ siriknaDe’lainnaolokoloe, yang berarti “manusia yang tidak memiliki siri’ sama halnya dengan binatang.” Ungkapan lainnya ialah Siri’emmitutariasengtau; NarekkoDe’ siri’tatanianiktau, rupa tau mani asenna, yang bermaksud “hanya dengan siri’kita dianggap manusia, kalau tidak ada siri’ kita bukan manusia,hanya berupa manusia sahaja.
Jurnal Mattulada juga menyatakan bahwa siri’ adalah suatu hal yang abstrak dan hanya akibat konkretnya saja yang dapat diamati dan diobservasi. Dalam kenyataan sosial, kita dapat mengobservasi orang-orang Bugis yang cepat merasa tersinggung, lekas menggunakan kekerasan dan membalas dendam dengan pembunuhan, khususnya yang banyak terjadi yang berkaitan dengan pernikahan atau perjodohan.
Seperti contoh, apabila seseorang yang berbangsa Bugis dibawa lari anak gadisnya, maka ahli keluarga khususnya lelaki, mestilah berusaha semaksimum untuk mencari tahu dimana ia berada, dan jika berhasil menemukan si pembawa lari itu, maka langsung dibunuh. Masyarakat Bugis menghayati siri’ itu sebagai panggilan yang mendalam pada pribadinya, sehingga penting untuk mempertahankan suatu nilai yang dihormatinya. Sesuatu yang dihormati, dihargai, dan dimilikinya, mempunyai arti yang esensial, sama terhadap dirinya maupun bagi anggota persekutuannya.
Banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat Bugis baik di dalam daerah, maupun di luar daerah mereka, peristiwa bunuh-membunuh dengan jalan jallo’ yang dilatarbelakangi oleh siri’. Secara lahir, sering nampak seolah-olah orang Bugis yang merasa siri’ dan sanggup membunuh atau dibunuh, memperbuat sesuatu yang fatal karena alasan-alasan sepele atau alasan perempuan yang sesungguhnya dapat dipandang sebagai suatu hal yang biasa saja. Akan tetapi, pada hakikatnya apa yang kelihatan oleh orang luar sebagai suatu hal yang sepele dan biasa, bagi orang Bugis sesungguhnya hanya merupakan salah satu daripada alasan lahiriah saja dari suatu kompleks sebab-sebab lain yang menjadikan ia merasakehilangan martabat atau harga diri, yang juga menjadi identitas sosialnya.(Red)
Penulis : Muh. As’ad
Editor : Edi Prekendes