BERITWAJO.ID, JAKARTA – Untuk menjadi hakim yang berintegritas yang dilakoni Andi Samsan Nganro, ia selalu meningkatkan kewaspadaan dan memperkuat diri, batin dan amanah. Termasuk dalam jabatannya sekarang ini sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial.
Karena putusannya yang dekat dengan keadilan buat masyarakat, Andi Samsan Nganro dijuluki sebagai hakim yang membumi. Ini rupanya sebagai apresiasi dan dukungan atas kinerjanya dalam menegakkan keadilan.
Rupaya kearifan lokal Bugis dari kitab Lontara — pustaka yang berisi pesan, falsafah dan kebajikan leluhur, sedikit banyak membentuk pribadi Andi Samsan menjadi hakim progresif. Tak jarang Lontara menjadi pegangannya dalam memutus perkara.
Betapa tidak, di tanah asal Andi Samsan Nganro, yaitu Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, pada ratusan tahun lampau orang hanya mempertuankan hukum, sehingga hukum tidak memandang bulu, tanpa pilih kasih, baik kalangan petinggi, maupun kalangan masyarakat umum. Semuanya tidak luput dari jangkauan hukum.
Semisal ketika La Pabbelle’, putra Arung Matoa Wajo ke-10, La Pakoko To Pabbelle’ (1564-1567) memperkosa seorang wanita di kampung Totinco, dia langsung dijatuhi hukumam mati oleh ayahnya sendiri.
Karena itu, Andi Samsan Nganro seraya mengutip Lontara menyatakan bahwa seorang hakim melarang memutus perkara ketika mereka berada dalam salah satu dari tiga kondisi, marah, gembira dan lapar.
Seorang hakim yang sedang marah bisa menghukum orang yang tidak bersalah, sebaliknya jika dalam keadaan gembira, ia dapat saja membebaskan orang yang bersalah atau menghukum ringan penjahat kelas kakap. Adapun jika sedang lapar, ia gampang hilang kemandiriannya dengan membantu memberinya makan.
“Seorang hakim harus bersikap tenang dan mampu mengendalikan diri,” kata Andi Samsan Nganro.
Sampai kini, saat akan menjatuhkan putusan perkara, Andi Samsan selalu mematikan telepon selulernya, termasuk untuk kasus Presiden Soeharto, selama beberapa hari ia menon-aktifkan gawainya. Ia tak mau menerima telepon dari siapa pun, baik di rumah maupun di kantor. Semua Andi Samsan Nganro lakukan semata-mata demi kemandiriannya sebagai hakim yang tidak boleh terusik.
Pembela Rakyat Kecil
Dalam menangani kasus yang mendera para hakim, Andi Samsan Nganro tetap profesional dan menganggap bahwa tidak seorangpun yang kebal hukum. Lantaran itu namanya kerap muncul menjadi sumber berita, dan sebagai hakim karena putusan-putusannya diapresiasi oleh masyarakat dan dirasakan keadilannya.
Sebagai hakim sekaligus merangkap humas pengadilan telah dirintis Andi Samsan Nganro ketika menjadi penegak keadilan di Pengadilan Negeri Balikpapan pada l989, Pengadilan Negeri Samarinda, 1994, Pengadilan Jakarta Pusat, 2000. Puncaknya adalah menjadi juru bicara Mahkamah Agung.
Sebagai juru bicara pengadilan dan Mahkamah Agung, pria kelahiran Sengkang, Sulawesi Selatan, 2 Januari 1953 ini memiliki pembawaan yang tenang, jelas dan jernih menyampaikan pikirannya. Tidak menimbulkan kegaduhan dan kontroversi. Mudah dicerna oleh insan pers sehingga itu membuat ia akrab dengan juru warta.
Sebagai insan penegak hukum, yang malang melintang sebagai hakim pengadilan negeri di berbagai daerah, antara lain di Makassar, Maluku Utara, Kalimantan Timur, Jakarta Pusat, Cibinong dan Jakarta Selatan.
Dengan 42 tahun lebih berkecimpung di dunia peradilan dan penugasan di berbagai daerah, alumnus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini, bisa memahami dan menghayati makna dan arti keadilan, serta peran hakim sebagai benteng keadilan bagi masyarakat.
Karena itulah Andi Samsan Nganro tak selalu terpaku kepada pasal-pasal, tetapi ia juga melakukan terobosan hukum, dan mengedepankan rasa keadilan. Artinya, di samping memperhatikan legal justice, juga mengedepankan moral justice. Di samping memperhatikan keadilan prosedural, juga keadilan subtansif.
Hal ini nampak misalnya, ketika ia memutus perkara gugatan warga, yang kemudian istilah ini populer disebut citizen lawsuit, sebuah pola pendekatan yang diadopsi ala hukum Amerika Serikat. Kasus ini bermula dari pekerja migran di Nunukan, Kalimantan Utara, yang dinilai illegal dan dipulangkan oleh pemerintah Malaysia. Pada kasus ini pemerintah kita dinilai bersalah karena dianggap belum maksimal dalam melindungi tenaga kerja migran.
Putusan ini akhirnya menjadi tonggak perubahan hukum di Indonesia, sebab dibolehkannya warga negara menggugat pemerintah karena lalai dalam kasus TKI Nunukan.
Aspek positif dari terobosan hukum ini adalah, warga mulai berani mengajukan ke pengadilan jika ada kebijakan pemerintah yang merugikan warga.
Meski ia pernah menyatakan prihatin terhadap media yang suka memberitakan hal yang negatif terhadap pengadilan, namun itu tidak berarti ia alergi terhadap wartawan. Bahkan, Andi Samsan Nganro sangat dekat dengan awak media. Ia hanya berharap media menulis secara fair, jika ada yang positif juga harus diekspos.
Dia bahkan pernah membuat putusan yang cukup mengagetkan, bahwa AJI (Aliansi Jurnalis Independen) berhak mewakili juru warta melakukan gugatan. Karena sikapnya yang membela pers itu ia mendapat penghargaan Suardi Tasrif Award dari AJI.
Selain itu, majalah TEMPO memilihnya sebagai salah satu Tujuh Tokoh Penegak Hukum 2007 lantaran berjasa menegakkan perubahan, dan menumbuhkan harapan pada pemerintahan yang bersih.
Kedekatannya dengan wartawan dan dunia tulis menulis, tidak diherankan mengingat Andi Samsan Nganro pernah sebagai kolumnis di sejumlah media cetak nasional. Tak jarang buah karya tangannya dimuat di media nasional seperti di Kompas atau Suara Pembaruan. Bahkan karya Andi Samsan berjudul Mengintip Berbagai Tantangan di Celah-celah Tugas Peradilan Sang Hakim berhasil menyabet juara II Lomba Penulisan Ilmiah di bidang hukum yang digelar majalah Kartini dan majalah Forum Keadilan. [Arfendi/Lip]
Sumber : www.pinisi.co.id
Editor : Edi Prekendes