BERITAWAJO.ID - Di dalam kehidupan ini untuk melestarikan hubungan yang harmonis sesama manusia yaitu membangun kesadaran untuk menjaga setiap kosa kata yang hendak dikeluarkan kepada lawan bicara. Dalam artian, setiap kalimat yang ingin disampaikan kepada manusia lainnya harus melewati proses berpikir yang baik dan matan. Sehingga kalimat yang tersampaikan tidak membuat lawan bicara atau manusia lainnya merasa tidak nyaman (tidak enak hati).
Dalam konteks ini, di dalam suku Bugis dikenal istilah sipakatau, sipakalebbi, sipakainge yang menjadi salah satu nilai budaya masyarakat Bugis dalam menjalankan interaksi sesama manusia. Kata ‘’si’’ menunjukan nilai ini bersifat kolektif yaitu hanya bisa ditegakkan ketika lebih dari satu orang. Secara harfiah, sipakatau; artinya saling memanusiakan, sipakalebbi; saling memuliakan, dan sipakainge; saling menasehati.
Sipakatau merupakan kemampuan seseorang memanusiakan manusia lainnya. Mampu menghargai orang lain tanpa memandang jabatan, bentuk fisik, keturunan dan kekayaannya. Kemudian mampu memahami kondisi psikologi atau karakter lawan bicara ketika hendak berbicara, baik komunikasi langsung atau pun komunikasi di muka umum. Serta memahami bahwa setiap manusia mempunyai perasaan yang mesti dijaga oleh manusia lainnya.
Selanjutnya, sipakalebbi, merupakan kemampuan seseorang memuliakan manusia lainnya. Dalam artian, memuliakan tidak sampai menundukkan hati dan kepala untuk manusia lainnya. Atau menghilangkan kemerdekaan jiwa demi memuliakan manusia lainnya secara berlebihan. Namun, yang dimaksud adalah mampu memposisikan diri sebagai manusia agar mampu memuliakan manusia lainnya dengan tutur kata dan tindakan mulia pula.
Sebagaimana bunyi tutur (pappaseng) orang Bugis dahulu menjelaskan ‘’Narekko mupakalebbi’ i taue, alemutu mupakalebbi’’ artinya jika engkau memuliakan orang lain, sebenarnya engkau memuliakan dirimu sendiri (karena akhlak mulia-mu). Kemudian sipakainge, merupakan kewajiban setiap manusia untuk saling mengingatkan kepada kebaikan dan menghindari dari keburukan.
Nilai budaya ini yang sudah menjadi slogan masyarakat Bugis merupakan salah satu kekayaan nilai yang patut dijunjung tinggi. Jika nilai ini ditegakkan, akan menciptakan lingkungan yang harmonis dan kondusif di tengah-tengah masyarakat. Namun sebaliknya, jika nilai ini hanya sekedar slogan semata dan tidak dijadikan sebagai bahan renungan atau refeleksi untuk kehidupan manusia yang lebih baik. Maka, yang lahir hanyalah kebencian, permusuhan dan pembunuhan.
Tutur (pappasang) orang Makassar dahulu menjelaskan ‘’Punna bajimi’ mintu panggaukanga, bajimi adaka, bajimi paua, nakaraengang mako taua, napakala’ bari mako taua. Iaminjo nabiasa tallang adaka tanni poterang, mae’mi rapaka tanniapaumba bajikangangan mami matea na tallasaka saba’ kurang ajaraka assipa’ olo’ olo’ maki.’’
Artinya kalau bagus kelakuan Nak, bagus adat, bagus perkataan kita sudah dianggap Raja sama orang, dihargai sama orang. Makanya, biasa tenggelam adat (itu) dan tak kembali, tertutup rapat tak dimunculkan. Lebih baik mati dari pada hidup karena (sifat) kurang ajar seperti sifatnya binatang.
Pesan moral yang dapat dipetik dari tutur (pappasang) orang Makassar dahulu di atas adalah pentingnya mengafirmasi sifat akhlak mulia dalam kehidupan. Menjaga adab dan setiap perkataan dalam berinteraksi sesama manusia. Karena ketika manusia sudah tidak mempunyai itu semua. Maka, lebih baik manusia terkubur di dalam tanah (mati) karena yang tinggal hanyalah sifat kurang ajar dan sifat itu mirip dengan sifat binatang.
Itulah pentingnya menjaga sikap (perbuatan) dan menjaga lisan (perkataan) setiap kali berinteraksi dengan sesama manusia, jika manusia mampu menjaga perbuatan dan lisannya yang baik, sama saja dia telah menjaga manusia lainnya. Karena lisan ibarat besi yang tajam. Jika tidak dijaga dengan baik, dapat menyakiti manusia lainnya. Sebagaimana tutur (pappaseng) orang Bugis dahulu ‘’Engkatu ada matarengngi na kawali-e’’ yang artinya ada itu perkataan lebih tajam dari pada kawali (senjata tajam khas orang Bugis).
Makanya, di dalam ajaran agama Islam sangat dihimbau untuk berhati-berhati dalam berbicara. Jika kalimat yang hendak ingin disampaikan sudah tidak memiliki makna lagi, atau berpotensi membuat manusia lainnya tidak nyaman (tidak enak hati). Lebih baik diam. Sebagaimana yang pernah disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam yang artinya ‘’Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diamlah’’ (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian, untuk menciptakan hubungan yang harmonis sesama manusia. Perlu ditegakkan (implementasikan) kembali nilai sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge. Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda dan mengucapkan perkataan yang baik dan benar kepada manusia lainnya, dan tidak berucap yang sia-sia atau berlebih-lebihan. Dan memahami bahwa semua manusia mempuyai Gharizatul Al-Baqa’ atau naluri mempertahankan diri, yang ingin dihargai, dihormati dan dimuliakan. Jika itu tercederai, akan menimbulkan kebencian, permusuhan bahkan pembunuhan.
Penulis : Arung Samudra
Editor. : Edi Prekendes