BERITAWAJO.ID - Idealnya, Perguran Tinggi adalah pelita peradaban. Ia hadir bukan hanya untuk mendistribusikan ilmu, tetapi juga menyalakan obor kritisisme, membangun pengetahuan yang membebaskan, dan mengabdi pada kesejahteraan masyarakat. Tri Dharma—pendidikan, penelitian, dan pengabdian—Perguruan Tinggi adalah fondasi yang menjamin peran kudus ini. Namun, ketika kampus mulai membuka diri untuk menerima izin usaha tambang dengan dalih "kemerdekaan finansial", ia tak hanya mengkhianati janjinya pada masyarakat, tetapi juga terperangkap dalam siklus absurd layaknya Sisyphus dalam mitologi Yunani, menggelindingkan batu ke puncak gunung, hanya untuk melihatnya jatuh kembali, berulang tiada akhir.
Tri Dharma vs. Logika Tambang
1. Pendidikan yang Terkooptasi Kepentingan Kapital
Tri Dharma pendidikan, menuntut kampus menjadi ruang yang memerdekakan pikiran. Namun, ketika tambang diizinkan masuk, kurikulum bisa bergeser menjadi alat untuk melayani industri ekstraktif. Misalnya, program studi teknik pertambangan atau lingkungan mungkin didikte untuk melumrahkan eksploitasi sumber daya alam, alih-alih mengkritisi dampaknya.
Mahasiswa diajarkan untuk menjadi "tenaga kerja siap pakai" bagi korporasi, bukan pemikir yang mempertanyakan keadilan ekologis. Pendidikan kehilangan rohnya sebagai proses pencerdasan kritis dan rektor sebagai empunya beralih jadi peniaga.
2. Penelitian yang Dibelenggu Profit
Penelitian dalam Tri Dharma seharusnya menjawab masalah masyarakat dengan independensi. Berkolaborasi dengan industri ekstraktif tambang sering kali mengikat akademisi dalam kontrak yang membungkam kritik.
Riset tentang dampak lingkungan atau kesehatan masyarakat bisa dikerdilkan jika bertentangan dengan kepentingan niaga. Alih-alih menghasilkan inovasi untuk keberlanjutan, kampus justru menjadi "tukang stempel" legitimasi ilmiah bagi perusakan lingkungan. Ini adalah pengkhianatan terhadap integritas keilmuan.
3. Pengabdian yang Menjadi Ironi
Pengabdian masyarakat adalah janji kampus untuk berpihak pada yang lemah. Dan ketika kampus mulai menambang, ia kemudian terlibat dalam perampasan ruang hidup masyarakat adat, pencemaran air, dan kerusakan ekosistem. Bukan solusi yang ditawarkan, melainkan bencana. Kampus yang seharusnya menjadi penjaga nilai-nilai kemanusiaan justru berubah menjadi kaki tangan ketidakadilan.
Albert Camus dalam esainya, The Myth of Sisyphus, menggambarkan Sisyphus sebagai simbol manusia absurd yang terkungkung dalam tugas nir-makna. Namun, Camus juga menawarkan kebebasan, dengan menyadari absurditas itu, Sisyphus bisa menemukan kebahagiaan dalam pemberontakan. Sedangkan, kampus yang terlibat tambang justru terjebak dalam siklus yang lebih kelam, mereka mengulangi tindakan merusak sambil berpura-pura menjalankan Tri Dharma.
Setiap izin tambang yang dikeluarkan adalah "batu" yang harus digelindingkan. Menguras sumber daya, menciptakan konflik, lalu berusaha menebus dosa dengan program CSR atau pseudo-penelitian. Namun, seperti Sisyphus, batu itu akan terus jatuh. Kerusakan lingkungan tak terhindarkan, kepercayaan masyarakat hancur, dan martabat akademis tercabik. Kampus menjadi penonton pasif sekaligus aktor aktif atas kehancuran yang ia ciptakan sendiri, terperangkap dalam ilusi "kemandirian finansial" yang justru mengubur tujuan hakikinya.
Perguruan Tinggi bukan tambang. Jika ia gagal membedakan diri dari lubang-lubang kegelapan, maka ia telah mati sebagai pelita peradaban.
Penulis : Fikri Haikal
Editor. : Edi Prekendes